{Semoga Chapter yang ini memuaskan ...}
Aku berjalan lunglai keluar dari kamar mandi. Pagi yang cerah, tapi hari ini aku merasa bosan sekali. Harus tidur seharian penuh tanpa tahu yang harus dilakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk 'bertamu' ke kamar sebelah. Kata perawatku, Mischa, di kamar sebelah ada pasien baru. Dia perempuan dan seusia denganku. Semoga aku bisa akrab dengannya. TOK! TOK! TOK! Ketukku lembut. Kriet! Pintu terbuka dan aku melihat sosok gadis yang manis sekali. Wajah gadis itu putih pucat, untungnya tidak sepucat mayat. Tapi dia benar-benar sangat cantik. Rambutnya ikal dan poninya keriting 'menjebol' ke da- lam. Warna rambutnya coklat kental. Bulu matanya sangat panjang, melengkung, dan lentik. Bola matanya berwarna perak. Oh wow! Bayangkan saja. Perak? Hidungnya mancung. Pipinya kemerahan. Bibirnya kecil, tipis dan warna merah mudanya tampak mengilap. Seperti habis mengenakan lip gloss.
Telinganya sedikit lancip seperti peri. Kuku-kuku jarinya dihias kuteks berwarna merah muda yang manis. Tubuhnya tinggi semampai. Ya ampun! Aku sampai bingung. Kami sama-sama perempuan, tapi kenapa perbedaannya seperti langit dan bumi, ya? Tinggiku tidak sampai pundaknya. Wajahku pun biasa-biasa saja (maksudnya standar). Benarkah gadis sedewasa dia ini seumuran denganku? Kakiku jadi gemetaran. "Siapa namamu?" gadis itu tersenyum manis dan mempersi- lahkan aku untuk masuk. "Angg ... engg, aku Rie" kataku. Gadis itu duduk di sebelahku. "Namaku Misa. Salam kenal ya!" Misa kembali tersenyum dan dia mengambilkan segelas teh untukku.
Aku jadi merasa sungkan dengan kepribadian gadis di hadapanku ini. Sudah cantik dan manis, sopan pula. Berbeda jauh sama aku. Aku menghirup perlahan-lahan teh yang di sediakan Misa. "Kamu seorang pasien atau keluarga pasien?" kata Misa. "Aku pasien. Aku sakit demam. Mungkin besok atau besok lusa, aku bisa pulang ke rumahku" kataku.
Misa menatapku sejenak. "Aku sakit jantung. Sepertinya kamu gadis yang kuat, Rie. Tidak seperti aku yang setiap dua minggu sekali harus periksa kesehatan di rumah sakit. Padahal aku ingin bersekolah dan mengikuti kegiatan klub futsal bersama teman-teman lainnya. Tapi kenapa harus aku sih? Kenapa harus aku yang merasakan penderitaan ini? Bukankah di dunia ini ada banyak orang? Kenapa harus aku yang terkena penyakit jantung ini? Dari hari ke hari, jantungku semakin lemah berdetak. Apa ini tandanya aku akan pergi dari dunia? Syukurlah," kata Misa menggebu-gebu. "Semua manusia memang tidak ada yang ingin mendapat kesusahan. Manusia pasti selalu ingin mendapatkan apa-apa yang mereka harap dan mereka tidak pernah berfikir bagaimana cara yang baik untuk mendapatkannnya. Mereka hanya berfikir cara apapun akan mereka lakukan untuk mendapat hal itu. Cara baik atau buruk sama di mata mereka. Dan begitu juga dengan sakit-
mu, Misa. Aku tahu dirawat di rumah sakit memang tidak enak. Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu begitu pasrah akan nasibmu dan bersyukur karena (menurutmu) sebentar lagi kamu akan pergi dari dunia. Kamu harus berusaha sembuh ka- rena, ada banyak kesenangan yang bisa kamu dapatkan di dunia ini. Contohnya: kehangatan seorang sahabat ketika kamu membutuhkannya, kecupan selamat malam dari orangtuamu, menu makan siang, dan sebagainya. Bukankah hidup itu menyenangkan sekali?" jelasku, berusaha menghibur Misa.
Tiba-tiba Misa menangis dan dia langsung memelukku. "Terima kasih, Rie. Kamu menyadarkanku, kalau aku tidak boleh berputus asa sebelum berjuang. Kamu adalah malaikat penolong-ku. Mau menjadi sahabatku?" tawarnya, lalu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Aku mengangguk. Tawarannya sangat hebat!
Teman baru? Apakah Misa adalah teman yang baik atau buruk bagi Rie? Kita akan menemukan jawabannya di Chapter 7
Aku berjalan lunglai keluar dari kamar mandi. Pagi yang cerah, tapi hari ini aku merasa bosan sekali. Harus tidur seharian penuh tanpa tahu yang harus dilakukan. Akhirnya aku memutuskan untuk 'bertamu' ke kamar sebelah. Kata perawatku, Mischa, di kamar sebelah ada pasien baru. Dia perempuan dan seusia denganku. Semoga aku bisa akrab dengannya. TOK! TOK! TOK! Ketukku lembut. Kriet! Pintu terbuka dan aku melihat sosok gadis yang manis sekali. Wajah gadis itu putih pucat, untungnya tidak sepucat mayat. Tapi dia benar-benar sangat cantik. Rambutnya ikal dan poninya keriting 'menjebol' ke da- lam. Warna rambutnya coklat kental. Bulu matanya sangat panjang, melengkung, dan lentik. Bola matanya berwarna perak. Oh wow! Bayangkan saja. Perak? Hidungnya mancung. Pipinya kemerahan. Bibirnya kecil, tipis dan warna merah mudanya tampak mengilap. Seperti habis mengenakan lip gloss.
Telinganya sedikit lancip seperti peri. Kuku-kuku jarinya dihias kuteks berwarna merah muda yang manis. Tubuhnya tinggi semampai. Ya ampun! Aku sampai bingung. Kami sama-sama perempuan, tapi kenapa perbedaannya seperti langit dan bumi, ya? Tinggiku tidak sampai pundaknya. Wajahku pun biasa-biasa saja (maksudnya standar). Benarkah gadis sedewasa dia ini seumuran denganku? Kakiku jadi gemetaran. "Siapa namamu?" gadis itu tersenyum manis dan mempersi- lahkan aku untuk masuk. "Angg ... engg, aku Rie" kataku. Gadis itu duduk di sebelahku. "Namaku Misa. Salam kenal ya!" Misa kembali tersenyum dan dia mengambilkan segelas teh untukku.
Aku jadi merasa sungkan dengan kepribadian gadis di hadapanku ini. Sudah cantik dan manis, sopan pula. Berbeda jauh sama aku. Aku menghirup perlahan-lahan teh yang di sediakan Misa. "Kamu seorang pasien atau keluarga pasien?" kata Misa. "Aku pasien. Aku sakit demam. Mungkin besok atau besok lusa, aku bisa pulang ke rumahku" kataku.
Misa menatapku sejenak. "Aku sakit jantung. Sepertinya kamu gadis yang kuat, Rie. Tidak seperti aku yang setiap dua minggu sekali harus periksa kesehatan di rumah sakit. Padahal aku ingin bersekolah dan mengikuti kegiatan klub futsal bersama teman-teman lainnya. Tapi kenapa harus aku sih? Kenapa harus aku yang merasakan penderitaan ini? Bukankah di dunia ini ada banyak orang? Kenapa harus aku yang terkena penyakit jantung ini? Dari hari ke hari, jantungku semakin lemah berdetak. Apa ini tandanya aku akan pergi dari dunia? Syukurlah," kata Misa menggebu-gebu. "Semua manusia memang tidak ada yang ingin mendapat kesusahan. Manusia pasti selalu ingin mendapatkan apa-apa yang mereka harap dan mereka tidak pernah berfikir bagaimana cara yang baik untuk mendapatkannnya. Mereka hanya berfikir cara apapun akan mereka lakukan untuk mendapat hal itu. Cara baik atau buruk sama di mata mereka. Dan begitu juga dengan sakit-
mu, Misa. Aku tahu dirawat di rumah sakit memang tidak enak. Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu begitu pasrah akan nasibmu dan bersyukur karena (menurutmu) sebentar lagi kamu akan pergi dari dunia. Kamu harus berusaha sembuh ka- rena, ada banyak kesenangan yang bisa kamu dapatkan di dunia ini. Contohnya: kehangatan seorang sahabat ketika kamu membutuhkannya, kecupan selamat malam dari orangtuamu, menu makan siang, dan sebagainya. Bukankah hidup itu menyenangkan sekali?" jelasku, berusaha menghibur Misa.
Tiba-tiba Misa menangis dan dia langsung memelukku. "Terima kasih, Rie. Kamu menyadarkanku, kalau aku tidak boleh berputus asa sebelum berjuang. Kamu adalah malaikat penolong-ku. Mau menjadi sahabatku?" tawarnya, lalu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Aku mengangguk. Tawarannya sangat hebat!
Teman baru? Apakah Misa adalah teman yang baik atau buruk bagi Rie? Kita akan menemukan jawabannya di Chapter 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar