{Sekali lagi mohon dibaca jika berkenan dan saya minta kritik, saran dan komentar!}
"Kak, aku malass banget di sekolah. Hari ini aku dipermalukan lagi sama Clara, Joanne dan Zellia. Fotoku di edit sedemikian rupa hingga seperti badut berpakaian beruang. Coba deh Kakak bayangkan?" kataku lalu menjatuhkan tubuhku di atas sofa panjang yang empuk. Ash tergelak. "Cuma segitu kok Rie udah kelelahan?" kata Ash lalu kembali ke daput untuk mencuci piring dan gelas. Kakak kan tidak tahu bagaimana rasanya dipermalukan. Apalagi Clara berjanji akan menghancurkan hidup- ku sampai aku mati! Bisa stres aku, kataku dalam hati. Krriiinnggg! Krrriiinngg! Aku memejamkan mataku, berusaha untuk mengenyahkan suara deringan itu. "Rie, tolong diangkat ya teleponnya!" terdengar perintah Ash dari dalam dapur. Dengan malas aku beranjak berdiri dan mengangkat gagang telepon, lalu berkata, "Halo? Disini Pemakaman Orang yang Menelpon Seseorang yang Sedang Stress. Siapa ini?"
Di seberang terdengar suara tawa. Siapa sih? "Hei, kalau kamu nggak cepat-cepat ngomong, aku langsung memutuskan sambungan, nih!" ancamku. "Oh, iya ya ... ini aku, Zen" kata Zen. Memang kenapa kalau dia Zen? Aku pengen cepat- cepat tiduran di sofa lagi, tahu! Malas banget meladeni anak macam dia. "Boleh aku menyalin jawaban pekerjaan rumah Bahasa-mu, Rie?" Zen langsung 'menembak' pembicaraan. "Apa?! Enak aja! Untuk apa aku melakukan hal itu? Kalau kamu terbiasa bergantung pada orang lain, kamu yang akan repot sendiri, Zen. Kamu kan bisa meminta Carl atau Rick menga-
jarimu. Pokoknya, aku nggak akan mau memberikanmu jawaban pekerjaan rumah ataupun ulangan. Titik!" setelah aku merasa seluruh darahku menaiki tangga menuju jantung dan berpesta-ria disana, aku langsung menutup gagang telepon dengan buas. Zen ... Zen ... kamu membuatku bertambah usia setiap detiknya!
Esok pagi ...
Aku melangkah memasuki kelas dengan sedikit terhuyung-huyung. Clara berjalan mendekatiku dan menyenggol keras bahuku. "Eh, ups! Aku nggak sengaja" kata Clara dengan senyum centilnya, lalu Joanne dan Zellia tertawa senang. Apa sih yang menyenangkan dari menyakiti orang lain? Zen membantuku berdiri. "Kantung matamu tebal sekali, Rie. Pasti tadi malam tidak bisa tidur ya?" kata Zen perhatian. Aku melotot padanya. "Sudah, sana pergi. Jangan dekat-dekat. Nanti penggemarmu bisa menghajarku" kataku dan mendorong Zen pelan. Zen terkekeh. "Aku tulus membantumu. Kamu kan teman akrabku. Ayo kubersihkan rokmu!" Zen menepuk-nepuk rok depanku yang kotor dan debu-debu pun beterbangan, membuatku terbatuk-batuk. "Huuh ... dasar cowok tidak sopan!" aku menampar Zen dengan keras dan segera menuju bangkuku.
"Rie, kamu nggak usah sampai segitunya juga sama Zen. Dia kan sudah berbaik hati membantu kamu" kata Mei yang sedang membaca buku kamus. "Iya sih ... tapi, Zen itu nggak sopan banget. Masa' dia menepuk-nepuk rok aku?! Apa dia nggak sadar kalau aku ini seorang perempuan?" selorohku kesal. "Tapi Rie, kamu tidak perlu sampai menampar Zen se-
gala. Zen memang berbuat tidak sopan padamu, tapi, dia pasti tidak sengaja, bukan?" lanjut Chie sembari menyeringai. Ooh ... oke, aku kalah. Aku langsung menghampiri meja Zen, menarik lengannya secara paksa dan membawa cowok itu ke lapangan yang sepi. "Emhh ..." aku menunduk dalam-dalam. "Maaf ya Zen. Pasti pipimu sakit sehabis aku tampar. Yah ... hanya itu yang ingin aku sampaikan padamu" kataku, dan segera menengadahkan kepalaku lagi.
"Ya. Rasanya memang sakit sekali! Tapi, tidak apa. Aku kan cowok. Lagipula, kamu itu sebenarnya manis sekali lho, Rie" Zen menyingkap sejumput rambutku yang panjang.
Apakah ini termasuk salah satu rencana Zen? Lanjutannya di Chapter 4!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar